Senin, 14 Februari 2011

BUDAYA POP

 http://www.suaramerdeka.com/harian/0311/04/kha1.htm

Industri Budaya
Sebagaimana dikemukakan Adorno dan Horkheimer, industri budaya dapat dimengerti sebagai budaya yang sudah mengalami komodifikasi serta industrialisasi, diatur dari atas (maksudnya kalangan teknisi serta industriawan yang bekerja di media massa, misalnya surat kabar dan stasiun televisi), dan secara esensial memang diproduksi semata-mata untuk memperoleh keuntungan (making profits).
Dengan kata lain, industri budaya ditandai oleh proses industrialisasi dari budaya yang diproduksi secara massal serta memiliki imperatif komersial, sehingga proses yang berlangsung dalam industri budaya ini adalah komodifikasi, standardisasi, serta masifikasi.
Komodifikasi berarti memperlakukan produk-produk budaya sebagai komoditas yang tujuan akhirnya adalah untuk diperdagangkan. Standardisasi berarti menetapkan kriteria tertentu yang memudahkan produk-produk industri budaya itu mudah dicerna oleh khalayaknya. Adapun masifikasi berarti memproduksi berbagai hasil budaya dalam jumlah massal agar dapat meraih pangsa pasar seluas-luasnya.
Beraneka Konsep
Perkembangan industri budaya itu dapat dilihat dari berbagai produk yang dihasilkan oleh budaya populer (popular culture). Konsep budaya populer itu ternyata sangat beraneka ragam, seperti yang dapat dirumuskan berikut ini.
Pertama, budaya pop dapat dipahami sebagai kultur yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, serta semua hal yang disukai oleh rakyat. Namun, istilah budaya pop sebagai budaya rakyat mempunyai kesamaan dengan istilah folk culture. Lalu, apa perbedaannya? Folk culture sebagai budaya rakyat sebenarnya berawal dari konsep tentang rakyat pada zaman ketika produksi ekonomi masih dalam bentuk feodalisme. Jadi, pengertian rakyat dalam kaitan ini mempunyai relasi kekuasaan dengan pihak kerajaan. Atau lebih tegas lagi adalah rakyat (petani) versus raja, sehingga, konsep folk culture pada akhirnya memang lebih dekat dengan produk kebudayaan yang berkarakter tradisional, seperti lagu, musik, teater, serta bentuk kesenian lain yang bersifat tradisional. Semuanya dicirikan dengan kesederhanaan (bahkan kevulgaran), karena memang sengaja dioposisikan dengan konsep kehalusan dari pihak kerajaan.
Lalu, kalau konsep tentang rakyat itu sekarang sudah beralih dari feodalisme menuju zaman kapitalisme, siapakah yang sesungguhnya "pantas" disebut rakyat itu? Secara gampang, sebut saja sebagai misal kaum buruh, golongan marginal, serta siapa pun yang termasuk dalam strata atau kelas bawah (lower class). Jadi, secara lebih simplifikatif, budaya pop berarti produk kultural yang berasal dari kalangan kelas bawah, untuk kalangan kelas bawah, serta banyak disukai juga oleh kelas ini.
Ciri budaya pop ini adalah spontanitas, "kekasaran" (untuk tidak menyebut vulgar), serta dianggap berselera rendah. Ini, tentu sengaja, merupakan posisi yang berlawanan dengan kalangan kelas atas.
Pembentukan budaya pop versus budaya tinggi ditentukan oleh budaya selera (taste culture). Kemudian, siapakah penentu dari taste culture ini? Jelas, mereka yang (merasa) mempunyai otoritas untuk memberikan penilaian, yaitu kaum elite kebudayaan yang berasal dari kelas atas.
Kedua, budaya pop berarti lawan dari budaya tinggi (high culture). Budaya pop merupakan karya kultural yang tidak dapat masuk dalam kriteria budaya tinggi. Dalam pemahaman ini, budaya pop tidak lebih dari sekadar sebagai "sisa-sisa" budaya tinggi yang dianggap bernilai luhur, terhormat, serta bernilai adiluhung. Apa yang dimaksud sebagai budaya tinggi ini, tentu saja, dimiliki oleh kalangan yang serba terbatas. Pemilik dari budaya tinggi ini adalah para elite, entah yang bernama intelektual, seniman besar, ataupun kritikus ternama yang mematok tinggi-rendahnya mutu suatu karya budaya. Jadi, lebih tepat kalau budaya pop disebut sebagai budaya sampah atau ada yang menamakannya sebagai kitsch.
Ketiga, budaya pop dalam pengertian seperti yang dikemukakan kalangan neo-gramscian. Konsep budaya pop ini tidak lepas dari terminologi hegemoni sebagaimana yang pernah dikonseptualisasikan oleh Antonio Gramsci.
Hegemoni merupakan suatu fenomena kekuasaan yang selalu diwarnai berbagai pertarungan yang tidak pernah berhenti. Kemenangan yang dimiliki oleh pihak yang berkuasa untuk melakukan dominasi terhadap pihak yang dikuasainya bersifat sementara dan memang tidak akan pernah langgeng serta selalu dalam kondisi tidak stabil . Maka, dalam hal ini, budaya pop merupakan wilayah pertarungan kekuasaan yang dilakukan oleh pihak kelas tertindas melawan kelas yang menindasnya.
Misalnya saja, musik yang bertemakan protes sosial merupakan perwujudan dari perlawanan terhadap sistem kekuasaan, ideologi yang sedang berlaku (prevailing ideology), dan pihak yang berkuasa.
Keempat, budaya pop berarti budaya massa (mass culture). Artinya adalah pengertian mengenai apa yang disebut populer sebagai the people atau rakyat, tidak berasal dari kalangan rakyat. Pengertian populer didesakkan dari kalangan tertentu, misalnya perusahaan besar atau korporasi media yang mempuyai tujuan komersial.
Dalam lingkup pengertian ini, budaya pop mempunyai tujuan untuk dijual atau dipasarkan, sehingga dapat meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Tidak pelak lagi, yang dicari adalah profit melalui mekanisme pasar dalam wujud permintaan-penawaran .

3 komentar:

  1. The Lucky Club Casino Site
    The Lucky Club Casino has been a popular choice for punters since its opening in 1999. Nowadays, the site has been online since 1998. You can browse luckyclub.live our

    BalasHapus
  2. Casino site - Lucky Club
    Welcome to Lucky Club. Live casino and casino entertainment. Enjoy exciting promotions and promotions, win big in our friendly community. Play  Rating: 4.2 luckyclub.live · ‎3,271 votes

    BalasHapus
  3. MGM Resorts International (MGM Resorts) to acquire and develop
    MGM Resorts International (MGM Resorts), 시흥 출장샵 a joint venture between MGM Resorts 남원 출장샵 International 하남 출장마사지 (MGM), and 양주 출장샵 the City's 포천 출장안마 Board of Directors (BCD).

    BalasHapus